Selasa, 06 Oktober 2009

Ki Sukir Menangkap Maling


Bayat, November 1981


Sore itu Ki Sukir baru saja selesai buang air besar di Sungai Dengkeng. Pada masa ini penduduk Paseban sebagian besar masih menggunakan sungai sebagai tempat buang hajat.
Bahkan setiap sore orang dari Craken, Ngabdanen, Pandean, Taman, Pase bahkan Krikilan ikut berpartisipasi memberi makan ikan yang hidup di Sungai Dengkeng. Kebanyakan sepeda mereka diparkir didepan rumah Ki Dirjo dan sebagian di rumah Ki Gunarto. Karena banyaknya orang buang air di sungai itu, jika musim kemarau dan sungai kering banyak sekali ditumbuhi pohon cabai dan tomat. Hal ini diperkuat dengan banyaknya orang Paseban yang suka sambel mentah mengakibatkan banyak pohon cabai dan tomat yang tumbuh disungai Dengkeng.

Setelah membersihkan diri secukupnya Ki Sukir lalu melepaskan kaos oblongnya, nampaknya kegiatan yang baru saja dilakukannya membuat tubuhnya keringetan. Lalu ia berjalan menyusuri tanggul menuju rumahnya.

Baru beberapa langkah ia berjalan ia dikejutkan suara gaduh dari arah timur, namun demikian ia tidak mempedulikan suara gaduh yang memang terdengar jauh.
Ki Sukir memang seorang yang tanggap dan memiliki bekal olah kanuragan, akhirnya berhenti sejenak dan menongok kebelakang. Yang dilihatnya saat itu adalah seorang anak muda yang sedang berlari menuju arah barat.
Ketika anak muda itu lewat disampingnya, tanpa banyak mulut langsung disabetnya anak muda itu menggunakan bajunya.

“Plakk”. Suaranya nyaring sekali, baju yang sedikit basah oleh keringat itu tepat mengenai mukanya, tanpa ampun anak muda itu langsung terjatuh pingsan. Setelah beberapa saat barulah diketahui kalau anak muda itu seorang pencuri yang melarikan diri.

Beberapa orang pengejar yang melihat kejadian itu terus memperbincangkan kejadian itu dan menganggap kalau Ki Sukir mempunyai daya linuwih. Bahkan ada beberapa yang menanyakannya secara langsung, namun demikian Ki Sukir hanya tersenyum.

Setelah lewat beberapa puluh tahun, pernah juga saya tanyakan langsung, tetapi Ki Sukir hanya memberi keterangan kalau bajunya itu sedikit basah sehingga memberikan efek yang dahsyat ketika dipakai untuk menyabet. Jika hal itu dianggap kurang dahsyat beliau menambahkan kalau bajunya tidak dicuci selama seminggu.

Hantu Bayat (Memedi Colok)

Pagi itu Slamet sedang mencuci mukanya di jeding untuk menghilangkan kantuknya Hari masih gelap dan dingin, akan tetapi Slamet tetap meneruskan rencananya untuk mruput gayam dirumah Wo Kerto Mencik.
Setelah merasa hilang kantuknya, Slamet berjalan menyusur tanggul dan berbelok kekanan menuju kebon belakang rumah Wo Kerto. Akan tetapi langkahnya terhenti ketika ia melihat nyala pelita kecil menyerupai lilin yang tiba-tiba berada didepannya.
Slamet yang waktu itu masih kelas empat SD, dengan rasa ingin tahu lalu mengikuti pelita itu, dalam benaknya ia hanya tertarik untuk meniupnya.
Sebenarnya pelita itu adalah salah satu hantu colok yang memang banyak terdapat di Bayat. Tanpa sadar Slamet terus mengikuti colok yang semakin masuk kedalam kebon yang lebat.
Ketika nyala colok itu padam, Slamet menyadari kalau dirinya telah berada dibagian kebon yang paling lebat.
Dalam keadaan yang wajar ia sendiri tidak akan masuk kedalam bagian ini, karena ditempat ini pasti banyak terdapat ular dan serangga.
Akhirnya Slamet lari terbirit-birit menuju rumahnya, hampir saja ia menabrak ayahnya yang akan mengisi jamban. Ki Madiyo hanya geleng-geleng melihat tingkah laku anaknya yang dianggap aneh.

Misteri Mbok Trimo Ceko


Nenek tua ini merupakan penjaga setia Makam Ki Ageng Pandanaran Bayat, dengan berbekal sapu lidi dan sebatang rokok yang ajeg terselip di tangan kirinya, Mbok Trimo ini selalu membersihkan anak tangga yang membentang dari gapura atas sampai dengan gapura bawah.
Senyumnya yang ramah selalu menyapa para tamu yang datang, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari ia hanya mengandalkan pemberian sekedarnya dari para tamu.
Namun demikian dibalik senyumnya itu menyimpan suatu keanehan yang mendebarkan, ditambah lagi keadaanya yang alakadarnya dan sering tidur dibawah langit membuat nenek ini semakin misterius.
Seorang dari luar daerah yang sering mesu diri di Bayat pasti mengenal dengan sosok yang ramah ini, bahkan seolah nenek ini menjadi nara sumber tentang pertanda-pertanda yang tidak kasat mata. Walaupun jawaban yang terkesan asal dan ngawur, akan tetapi orang-orang itu selalu sabar dan menghormatinya. Pertanda-pertanda ini bagi sebagian besar orang mungkin hanya dianggap sebagai kejadian alam yang wajar.
Beberapa tahun lalu ketika SDSB masih ada, ada tamu yang berasal dari Solo seminggu dua kali datang ke Makam hanya untuk mendengar jawaban Mbok Trimo ini.

Senin, 05 Oktober 2009

Onggo - Inggi Sungai Bayat

Onggo-Inggi Sungai Dengkeng

Sore itu menantu Mbah Gondo terlibat percekcokan kecil dengan isterinya, namun demikian masalahnya tidak segera selesai. Mbah Gondo masih terus saja mengomel sepanjang waktu seperti burung murai yang sudah jadi.
Namun demikian laki-laki itu agaknya sudah terbiasa, dengan santainya ia malah mengambil nasi didalam cething.
“Lawuhe ndi mbok?” Karena Mbah Gondo tidak menyahut, akhirnya ia beranjak dari duduknya dan memeriksa glodok tempat menyimpan makanan. Tetapi yang ditemukannya hanya sambel terasi yang tinggal sedikit, dengan muka memberengut akhirnya ia memakan juga nasi itu.
“Edan pedes tenan”. Dengan mata melotot ia mengunyah nasi sambel itu, beberapa kali ia minum dari kendi tetapi rasa-rasanya mulutnya seperti mengunyah bara. “Lombok’e mesti methik neng neroko”. Laki-laki itu berdesis.
Sementara itu diruang sebelah Mbah Gondho masih terus mengomeli menantunya yang masih muda itu akhirnya tidak tahan juga. Dengan tiba-tiba ia menyentakkan meja didepannya, tentu saja barang-barang yang berada diatasnya berantakan semua. Gelas, kendi dan lemper berisi sambel ikut pula jatuh ke lantai.
Namun demikian barang-barang itu tidak ada yang pecah, karena lantainya memang masih tanah.
Sambil menyalakan rokok ia bergegas meninggalkan rumah, namun baru beberapa langkah dari pintu perutnya tiba-tiba saja melilit perih. Dalam hati ia merasa kalau dirinya telah kualat kepada istri dan mertuanya, tetapi perasaan itu selalu dibuangnya jauh-jauh. Bahkan ia beberapa kali melakukan tindakan yang lebih keras.
Karena tidak tahan lagi akhirnya ia menuju WC terpanjang di daerah itu untuk buang air besar. Ketika melewati rumah Ki Sukir ia sempat berpapasan dengan Mangun dan Coco Kuncung.
“Neng ndi kang?” Sapa Mangun ramah.
“Ngising!” sahut Menantu Mbah Gondo singkat, sambil berlari-lari kecil ia segera menuju tanggul didepan rumah Ki Dirjo yang kosong.
Setelah berada di pinggir kali ia melepas sendalnya dan segera melorotkan celananya, seperti suara baju robek beban yang sudah ditahannya itu keluar tanpa terkendali.“brrreeeeetttttt….tettt….tetttt..tet…..te…ttttt…srrrr…serrrrr….”. Untunglah badannya sudah menghadap ke tanggul sehingga ia dalam posisi membelakangi sungai, beruntunglah benda kekuning-kuningan itu semuanya telah berada diair.
Namun karena dibagian pinggir airnya tidak mengalir dan hanya sebatas mata kaki, maka kotoran itu tetap tinggal dan telah membentuk garis lurus yang panjangnya hampir dua meter. Sambil mengamati jijik akhirnya laki-laki itu berpindah agak ketengah sehingga beberapa bagian tubuhnya terendam air, hal ini menyebabkan ia merasa sejuk.
Sambil melamun pikirannya telah membayangkan sabung ayam yang akan dilakukannya besok pagi, jika menang ia akan menyerahkan sebagian besar uangnya kepada mertuanya. Dengan demikian maka orang tua itu akan lebih menghargainya walaupun untuk beberapa saat.
Namun tanpa disadarinya ada satu makhluk air yang menyerupai cumi-cumi besar merayap mendekatinya. Laki-laki itu hanya merasa kalau (maaf) bagian bawah tubuhnya telah dicebokin seseorang, namun demikian ia tidak menjadi takut.
Menantu Mbah Gondo itu merasa kalau itu hanyalah ikan wader yang memang banyak terdapat disungai itu, lalu dengan tangan kirinya ia menepis benda yang menyentuhnya itu. Tetapi terkejutlah ia bahwa tangan kirinya telah ditepis pula oleh makhluk yang disangkanya ikan itu, ia masih menyangka kalau ikannya tentulah ikan yang besar.
Maka dengan dongkol ia menggunakan tangan kanannya untuk mengusir makhluk yang disangkanya ikan itu, tetapi agaknya makhluk itu juga merasa jengkel sehingga tanpa disangka kedua tangan yang berada diair itu serasa dipegang oleh tangan yang halus dan licin.
Belum usai dengan rasa kagetnya maka ia merasa telah dicebokin lagi seperti anak kecil yang selesai buang air besar dan dibersihkan oleh ibunya, dengan ngeri ia sekuat tenaga meronta dan menengok kebawah.
Dilihatnya bayangan putih berada diantara kedua kakinya dengan tangan banyak sekali menyerupai cumi-cumi besar. Setelah beberapa saat berteriak dan meronta akhirnya makhluk air itu melepaskannya juga. Tanpa membuang waktu Menantu Mbah Gondo lari tunggang langgang dengan mendekap celananya yang masih berantakan.
Ketika ia sampai didepan rumah Ki Sukir ia bertemu lagi dengan Mangun & Coco Kuncung yang sedang berjalan menuju kearah sungai.
“Ono opo mas?” Tanya mangun keheranan
“Onggo Inggi”. Jawab Menantu Mbah Gondo singkat.
Sambil perpandangan Kuncung dan Mangun tersenyum heran.
“Uwis tuo kok ijik percoyo onggo inggi”. Sahut Kuncung
“Ijik wani ngising ra Kun?” Tanya Mangun. Sebenarnya kedua orang ini memang akan buang air besar di Sungai Dengkeng, namun agaknya mereka menunggu hari sedikit gelap karena malu terhadap beberapa anak gadis yang rumahnya disamping tanggul sungai.
“Kenopo ra wani Ngun”. Sahut Kuncung. Akhirnya mereka berdua menuju pinggir sungai itu. Tetapi alangkah terkejutnya ketika mereka melihat sendal Menantu Mbah Gondo yang tertinggal
“Wah sendale ketinggalan”. Dengan reflek Mangun akan memungut sendal itu dan berencana untuk mengembalikannya.
“Awas, ojo Ngun!”
Teriak Kuncung sambil menunjuk garis lurus kuning membujur diantara sendal itu.
Ketika Mangun mengamatinya maka sambil menutup mulutnya ia langsung meninggalkan sungai itu.
Hampir muntah Mangun berjalan menuju sumur Ki Warno, dengan cepat ditimbanya air dan dicucinya tangan serta kakinya berulang-ulang.
Sementara itu Kuncung hanya tertawa tanpa henti, tetapi tidak demikian dengan Mangun. Sambil misuh-misuh ia masih saja mencuci tangannya.
Mas mimik yang kebetulan berada di gandok belakang lalu keluar mendengar keributan itu.
“Ono opo Kun?” Tanya mas Mimik sambil memegang piring.
“Ono Onggo-inggi mas neng kali”. Jawab Kuncung
“Ho’o mas ono onggo-inggi”. Jawab Mangun, sekarang dirinyalah yang terpingkal-pingkal tanpa henti.
Sementara itu Mas Mimik tidak menghiraukan lagi kedua anak muda itu.

Rabu, 09 September 2009

Misteri Tuyul Blumbang Taman

Blumbang/kolam itu tidak lebih dari 300 m2, berdiri dibawah lereng Gunung Malang (masih satu rangkaian dengan Gunung Jabalkat). Namun demikian kesan mistis terasa sekali, tempat ini kesohor sampai didaerah Solo, Jogja dan Semarang. Didalam Blumbang banyak sekali ikannya tetapi hanya sedikit orang yang berani memancing.

Letaknya berada dipinggiran desa Taman dan sangat sepi. Namun demikian tempat ini mempunya seorang juru kunci yang bernama Ki Pur Gelunk, orang ini bertugas melayani para tamu yang datang.

Adapun tamu yang datang ke Blumbang Taman ini seluruhnya berasal dari luar Bayat, tamu yang datang tidaklah sebanyak seperti di Makam Ki Ageng Pandanaran yang hanya berjarak 1000 m dari tempat ini.
Yang paling unik adalah tamu yang datang kesini adalah untuk mencari pesugihan/kekayaan dengan cara cepat adengan jalan mencari tuyul. Bahkan prosesi upacara pencarian tuyul itu saya pernah melihatnya sendiri.

Bagi pencari tuyul diharuskan membawa ubo rampe berupa kendi satu buah, pisang raja satu sisir, tembakau, kemenyan, daun sirih, uang seikhlasnya (semakin banyak akan mendapatkan tuyul yang skill nya semakin bagus), gambir dan yang tidak kalah penting adalah kesadaran akan konsekuensinya. Tentunya hal-hal demikian mempunyai akibat. Mungkin pembaca ada yang tertarik?

Upacara yang kebetulan pernah saya lihat adalah begini :

Pertama-tama Ki Juru Kunci akan membawa tamu ke bibir kolam yang ada anak tangganya, lalu Ki Juru komat-kamit membaca ramalan. Setelah beberapa saat, Ki Juru lalu membenamkan kendi dari tamu itu kedalam kolam.

Setelah terisi penuh dari air kolam, maka kedua lubang kendi ditutup menggunakan ubo rampe yang dibawa tamu. Setelah itu kendi siap dibawa pulang kerumah tamu dan esok harinya sudah berisi tuyul yang siap beraksi.

Tetapi masih ada dua pertanyaan yang masih belum terjawab bagi saya.
Apakah uangnya dipakai juga untuk menutup kendi tersebut?

Pertanyaan kedua, kenapa orang-orang yang datang berasal dari luar Bayat?

Selasa, 01 September 2009

Seban di Drop



Suara gemerincing itu benar-benar membuat hati kecut. Dengan mengendarai enam sepeda motor, anak muda Desa Jothangan itu datang menyatroni Desa Paseban, mereka mencari beberapa anak muda Paseban yang telah terlibat perkelahian ketika menonton pertunjukan Kethoprak di Lapangan Mah Miring.
Disepanjang jalan mereka sengaja menyeret klewangnya (pedang panjang) sehingga membuat orang-orang ngeri, setelah tidak ada anak muda Paseban yang menanggapi, mereka akhirnya berkumpul di pos ronda yang berada disebelah timur rumah Bidan Lilik.

Namun demikian anak muda Paseban sebenarnya telah mempersiapkan diri juga, tetapi mereka masih menunggu dan menahan diri sambil mengumpulkan kekuatan tandingan sebelum mereka keluar menyerang.
Beberapa pemuda yang telah berkumpul adalah Gandum, Kepek, Klowor, Teco, Bambang Garenk, Kenthir, Andri Celeng, Jendhil, Pudjo Munyuk, Sono & Harco

"Ndum piye ki, Kethel wis ketok rung?"Klowor menanyakan keberadaan Joko Kethel kepada Gandum,
Didalam hatinya dia agak khawatir untuk menyongsong anak-anak Jothangan karena dirasa kekuatannya belum cukup, mereka berharap Joko Kethel ada disitu. Menurut laporan yang diterimanya dari Pudjo Munyuk, kalau dalam rombongan anak-anak Jothangan itu terdapat Colo, seorang jawara ngetop dan ditakuti dari Jothangan.

"Pek, piye Joko Kethel karo Soma Dabul wis ono kabare?"

"Kethel lagi disusul karo Njedhir, nek Soma lagi mangan, paling delok engkas rene!" Sambil mengelus-elus punggung Wanto Mbendhol, Kepek menyahut dengan santainya.
"Asui!!.. rasah ndemok-ndemok Pek!! Sambil bersungut-sungut Wanto mbendol menjauh dari Kepek.
Pudjo yang melihat hal itu hanya senyum-senyum geli dan ikut menimpali" Rasah gengsi Ndol, wong kowe yo menikmati tho?"
"Cangkemu Djo!"
Sementara itu tidak lama berselang tiba-tiba dari arah selatan muncul Dogle dengan mata merah, bau ciu sangat terasa dari nafasnya.

"Wis kene, tak tandangine dhewe!, ora usah nunggu Kethel!"

Dengan beringas Dogle akan menyongsong anak muda dari Jothangan itu, tetapi teman-temannya yang lain langsung mencegahnya.

Sambil memelintir kumisnya yang panjang Jendhil berkata "Rasah kemaki Gle, kowe ngko malah di kosek karo Colo!"Jendhil merasa kalau kelakuan Dogle sudah keterlaluan dan gegabah.

Akan tetapi Dogle yang mendengar perkataan itu menjadi marah, apalagi pengaruh ciu yang tadi ditenggak diwarung Pakdhe Danu membuat nalarnya kabur."Cangkemu ditoto Ndhil, Dogle menyalak dengan sengit.

Sementara itu Gandum dengan santai menyilangkan tangan tetapi ia masih membisu. Dilihatnya Gareng, Kepek, Andri Celeng, Klowor & Teko sudah bersiap menengahi, didalam hati ia menyesalkan pertentangan yang terjadi diantara kawan sendiri. Apalagi diseberang jalan telah berkumpul anak-anak Jothangan yang siap menyerang

Tidak mau kalah Jendhil juga sudah mengepalkan tangannya, matanya masih menatap tajam Dogle. Ketika suasana menjadi semakin tegang dari arah timur muncul Soma Dabul bersama Koyim & Kempoel
Dengan sengaja Soma Dabul menampar kencang daun pisang yang ada didepannya"Plakkk!!!" "Dho ngopo cah?

Serentak orang-orang yang ada disitu memandang Soma Dabul, namun demikian pertengkaran antara Dogle dan Jendhil itu dengan sendirinya selesai.


Setelah berembug sebentar, gerombolan anak paseban yang semuanya menggunakan jaket COLOMBO itu mulai mendekat kearah anak-anak Jothangan. Sementara itu iring-iringan mulai bertambah jumlahnya, Cowex, Mangun, Bonjong & Coco Kuncung ikut bergabung.

Didalam hati sebenarnya Soma Dabul tidak begitu berminat untuk terlibat dalam pertengkaran itu, tetapi ketika dilihatnya dua adiknya ada disitu akhirnya ia ikut melibatkan diri juga.

Akan tetapi mereka menjadi bingung ketika dilihatnya Joko Kethel sedang asyik ngobrol dengan Colo, lalu ada Njedhir yang sedang merokok dibelakang Kethel. Sementara itu anak-anak Jothangan yang lain sedang duduk-duduk santai dan senjata mereka sudah tersimpan.

Kedatangan anak-anak Seban sempat mengagetkan Joko Kethel, sambil berlari-lari kecil ia berkata "Wis ora ono opo-opo, gek dho salaman!"

Anak-anak Paseban menjadi tambah bingung tetapi akhirnya mengikuti dan ikut bersalaman dengan anak-anak Jothangan.
Sementara itu Gandum, Kethel & Soma Dabul asyik mengobrol dengan Colo dan beberapa jawara Jothangan yang ada disitu.

Njedhir yang merasa dirinya sebagai kemenakan Kethel ikut juga berada disitu, sedangkan anak-anak Paseban yang lain memilih untuk berada diwarung Mbah Sosro dan menghisap rokok untuk menghilangkan ketegangan.

Setelah beberapa saat akhirnya Pemuda Jothangan berpamitan. Dengan sedikit berbasa-basi mereka bersalaman dengan sedikit meminta maaf.
Ketika tiba Colo bersalaman dengan Njedhir, dengan lantangnya Njedhir berkata "Delok'en ki cah, Colo wae njaluk ngapuro karo aku......"
"Cik Dus!" teriak anak-anak Paseban hampir berbarengan.





Hantu Bayat (Macan Kumbang Siluman Jabalkat)

Sore itu diawal tahun 90an Ki Dadiyo sedang mendapatkan pekerjaan borongan untuk mengangkut air kedalam makam Sunan Pandanaran. Air itu akan dipergunakan untuk mengisi dua gentong Sinogo dan satu bak mandi untuk sesuci para tamu makam. Meskipun dia diupah sangat murah, tetapi sebagai seorang yang bersahaja ia melakukannya dengan senang hati. Jarak sumber air dengan makam bukanlah jarak dekat, ditambah lagi Ki Dadiyo harus turun-naik tangga lebih dari 300 anak tangga.

Sejenak Ki Dadiyo memandang matahari yang sudah mulai condong ke barat. Diambilnya kayu pikulan yang terbuat dari belahan bambu yang dirangkap sehingga menjadi kuat. Beberapa saat ia kebingungan mencari ember bekas cat yang sering digunakanya untuk mengambil air.
Ketika dilihatnya anak lelakinya Ki Dadiyo memanggilnya. “To, embere putih pake sing siji neng ndi yo?”.(To, ember putih bapak yang satunya mana ya?)
“Dinggo simbok ngekum gadung. Diselehke neng mburi”.
Ki Dadiyo lalu menuju bagian belakang rumahnya dan melihat embernya telah dipakai untuk merendam gadung (sejenis umbi beracun yang dapat dimakan tetapi harus melalui prose’s yang tepat). Setelah memindahkan gadung ketempat yang lain maka Ki Dadiyo memulai pekerjaannya.

Disaat Ki Dadiyo sedang menaiki anak tangga di komplek makam Sunan Pandanaran itu ia bertemu dengan perempuan tua yang selalu menggenggam rokok dan sapu lidi ditangannya.
“Surup-surup ngisi banyu kang, mbok sesuk meneh?”(sudah sore masih mengisi air kak, kenapa tidak besok saja?). Bertanya wanita tua itu.
“Lha aku lagi wiwit’e yu”, jawab Ki Dadiyo tanpa berhenti. Tetapi ia tetap bertekad melanjutkannya, sebagai seorang penduduk asli disitu ia sering mendengar cerita-cerita tentang penampakan hantu-hantu Bayat. Namun demikian dihatinya ia selalu berkeyakinan bahwa ia tidak berbuat sesuatupun yang salah sehingga ia menanggapinya dengan pasrah.

Ketika ia sudah lima kali berjalan turun naik Ki Dadiyo dapat menyelesaikan pekerjaannya, sebenarnya rumah Ki Dadiyo berada di lereng perbukitan Jabalkat, sehingga akan sangat dekat dicapai melalui jalan dibelakang makam Sunan Pandanaran Bayat yang memang berada dipuncak perbukitan. Tetapi ia tidak melakukannya karena jalan itu sangat terjal apalagi hari sudah malam. Ki Dadiyo memilih jalan yang dilaluinya ketika mengisi air.

Namun dalam pada itu ia merasakan bahwa ia sendirian menyusuri anak tangga itu. Ki Dadiyo berharap bahwa juru kunci makam akan turun atau naik melewati anak tangga dari yang terbuat dari batu.
“Biasane Mas Widodo opo tamu-tamu lewat kok ora ono sing lewat. Wah jan sepi nyenyet tenan ki”. (Biasanya Mas Widodo atau tamu-tamu makam ada yang lewat kok nggak ada yang lewat ya. Wah ini sih benar-benar sepi) Ki dadiyo berpaling kebelakang untuk mencari orang yang kebetulan akan lewat.

Namun tiba-tiba dihadapannya telah duduk seekor macan kumbang yang ukurannya melebihi ukuran sewajarnya. Dengan sorot mata kuningnya yang menyala dalam gelap, macan kumbang itu menatap Ki Dadiyo dengan tajamnya. Namun demikian sebagai seorang yang sering keluar masuk makam dan hutan dipegunungan Jabalkat, maka ia mencoba menghadapinya dengan tenang.

Sambil menggerak-gerakkan ekornya macan yang berkulit hitam pekat mengkilat itu tetap diam dan tidak bereaksi apapun. Hanya mulutnya yang kadang-kadang terbuka memperlihatkan taringnya yang besar. Ki Dadiyo juga diam mencoba dengan nalarnya. Jarak antara macan dan Ki Dadiyo hanya beberapa langkah.
Untuk beberapa saat lamanya antara Ki Dadiyo dan macan kumbang itu tidak melakukan kontak apapun.
“Nek macan iki saknyatane macan, ora mungkin gedene sak mene. Iki mestine macan klangenane Ki Ageng Pandanaran”. (Ini pasti bukan macan sewajarnya, ini pasti macan peliharaan Ki ageng Pandanaran).

Didalam hati Ki Dadiyo berkeyakinan bahwa ini macan bukan sewajarnya. Dengan perasaan yang takjub dan ngeri ia memutuskan untuk meninggalkannya dengan sopan.
Berkatalah Ki Dadiyo dengan gemetar”Ndherek langkung mbah, kulo putune ki Ageng Pandanaran”. (Mohon ijin mbah, saya cucu keturunan Ki Ageng Pandanaran) Dengan membungkuk Ki Dadiyo meninggalkan macan itu.

Macan kumbang itu masih menggerak-gerakkan ekornya dan hanya menatap Ki Dadiyo. Entah bagaimana tetapi didalam hati Ki Dadiyo merasakan bahwa macan kumbang itu bukanlah ancaman baginya.

Dengan mengucap sokur kepada Allah SWT Ki Dadiyo telah sampai di gapura pintu masuk makam. Ketika dilihatnya beberapa orang masih berkumpul di lincak depan warung Kang Lamtho, maka ia ikut nimbrung disitu dan menyalakan sebatang rokok. Namun demikian ketegangan masih membayang diwajahnya, beberapa kali ia mencoba menyalakan rokok tetapi selalu tidak berhasil.

Sekilas Kang Lamtho si pemilik warung memperhatikan muka Ki Dadiyo yang sedikit pucat dan tegang, maka bertanyalah kang Lamtho.
“Kowe kenopo tho kang, kok sajak’e pucet. Opo bar ketemu wedhon piye?” Teman-teman lain yang mendengarnya ikut tersenyum, tetapi malam itu Ki Dadiyo tetap menyimpan kejadian yang dialaminya didalam hati.

Senin, 31 Agustus 2009

Hantu Bayat (Banaspati Gunung Jabalkat)

Joko Kethel menyusuri hutan di Gunung Jabalkat itu seorang diri. Hari yang mulai gelap tidak menyurutkan langkahnya. Sebenarnya ia memang berencana untuk menuju puncak Gunung Jabalkat itu. Joko Kethel memang dikenal sebagai seorang pemuda yang senang mesu diri & menepi di tempat-tempat yang terpencil. Tapa pendem dan tapa kungkum telah sering ia lakoni, tempaan diri yang sering dilakukan itu menjadikannya seorang pemuda yang matang dalam berpikir dan bertindak. Bersama sahabat karibnya yang tidak kalah saktinya : Soma Dabul, mereka adalah pasangan yang kompak dan disegani di Paseban.
Namun demikian ia tidak pernah terlibat dalam pertentangan yang sering terjadi didesanya. Joko Kethel adalah pemuda lajang yang tinggal bersama neneknya di dusun Pandean, sedangkan Soma Dabul tinggal bersama ayah dan adik-adiknya di desa Menden.
Kedua tempat ini masuk dalam wilayah Kalurahan Paseban. Adapun desa Pandean ini memang sering melahirkan beberapa jawara dari generasi ke generasi di Kalurahan Paseban.
Sebenarnyalah diawal 90’an beberapa kali terjadi benturan anak-anak muda antar kalurahan di Kecamatan Bayat. Salah satunya yang paling sering bersinggungan dengan Kelurahan Paseban adalah kelompok pemuda dari Kelurahan Jothangan yang dipimpin jawaranya yang bernama Colo. Namun demikian pertentangan ini hanya sebatas kesalah pahaman semata dan hanya sebagian kecil anak muda yang terlibat.
Seringkali Joko Kethel dan Soma Dabul diminta untuk ikut terlibat dalam pertentangan itu, karena mereka berdua dianggap punya kelebihan kanuragan. Tetapi mereka berdua selalu menanggapi dengan berbeda, maka yang sering terjadi adalah kedua anak muda itu hanya berbicara dengan pemimpin pemuda lawannya & mendamaikan mereka yang terlibat langsung dalam perkelahian.
Setelah sampai di puncak pegunungan Jabalkat, Kethel mulai duduk bersila dan menyilangkan tangannya. Sambil bersyukur kepada Tuhannya dan memohon rahmat kekuatan ia memantapkan hatinya dan membuka seluruh panca inderanya dengan alam. Biasanya hal ini dilakukannya hingga tengah malam sebelum ia melakukan latihan fisik dengan memanfaatkan alam sekitarnya.
Ketika dirasa selesai maka ia membuka matanya dan mulai melemaskan otot-ototnya yang tegang, Joko Kethel melanjutkannya dengan berlari menuruni Gunung Gede (masih satu rangkaian dengan Jabalkat) melompati beberapa parit yang menyerupai jurang-jurang sempit. Namun demikian ia sadar kalau sampai terjatuh atau terpeleset maka ia akan cedera berat atau bahkan nyawanya akan terlepas.
Setelah beberapa kali ia bolak balik Joko Kethel sampailah pada jurang yang dirasa paling berat, beberapa kali ia sudah melompatinya namun sekarang tenaganya mulai susut dan kakinya sedikit terasa pegal dan lemah. Dengan sisa tenaganya Joko Kethel dapat melompatinya juga biarpun dengan berguling beberapa kali.
Sambil tersenyum Joko Kethel membenahi rambutnya dan mula berjalan santai karena dirasanya latihannya hari ini selesai. Namun tiba-tiba didepannya muncul bara api yang besar seperti menghalanginya. Namun demikian ia tetap tenang, jika bukan Joko Kethel yang mengalaminya pastinya akan lari tunggang langgang. Didalam hati ia merasa bahwa ini bukan bara api yang sewajarnya. Sebagai seorang berhati mantap, ia memutuskan untuk berdiri menunggunya dan berharap bara api aneh itu menghilang dengan sendirinya. Tetapi apa yang ditunggu Joko Kethel itu tidak terlaksana karena bara api itu semakin membesar.

Dalam keheranannya Joko Kethel semakin jelas melihat bahwa bara api itu berasal dari kepala sesosok aneh yang mulai berdiri. Sosok itu berbentuk seperti raksasa dalam pewayangan, dalam hati Joko Kethel membatin bahwa dia telah melihat sosok banaspati, orang-orang tua didesanya sering bercerita bahwa di Gunung Gede ini sering muncul makhluk ini. Namun demikian Kethel mencoba untuk menghindarinya dan berbalik arah untuk mengambil jalan lain.
Tapi yang dilihatnya sungguh aneh dan sangat menyesatkan. Dengan hati berdebar ia memperhatikan jurang yang baru saja ia lompati telah berpindah tempat ketempat lain, atau tepatnya telah tertukar. Tempat yang semula padang rumput menjadi jurang dan sebaliknya. Untuk sesaat ia merasa ada yang tidak beres dengan matanya, maka dari itu Kethel memejamkan mata sejenak, lalu memusatkan panca inderanya.
Dengan demikian Kethel mencoba melihat dengan pemusatan pikiran. Ketika matanya membuka maka dilihatnya keadaan telah pulih dengan sediakala, jika ia tergesa-gesa apalagi panik ketika melihat banaspati itu maka ia akan mendapatkan celaka.
Sungguh gangguan yang mendebarkan jantung, dalam hati ia bersyukur karena telah terhindar dari marabahaya yang orang lain mungkin tidak pernah mengalaminya. Banaspati menurut anggapannya adalah hantu yang sangat berbahaya, mungkin setara dengan hantu keblak yang mengganggu dengan memunculkan pandangan semu. Ia masih membayangkan jika orang itu adalah orang yang berhati lemah dan kosong, tetapi orang yang berhati lemah dan penakut tidak akan lari turun naik gunung seperti dirinya.

Kamis, 27 Agustus 2009

Gagak pembawa khabar kematian

Siang itu sehabis pulang sekolah Coco Kuncung langsung melemparkan badannya di amben (tempat tidur) kayu rumahnya. Amben itu terasa sejuk walaupun hanya dialasi oleh galar (kulit bambu yang dibelah tipis-tipis & disusun), sekolahnya yang berada didekat kantor Kelurahan Paseban memang tidak begitu jauh, apalagi hari ini matahari yang menyengat membuatnya seditkit pusing. Tetapi bukan itu saja yang membebani pikirannya, teringat dikepalanya ketika nilai pelajaran bahasa indonesia mendapat angka 3, dan itu sudah sering ia dapatkan bahkan untuk beberapa mata pelajaran yang lain. Belum lama berselang ayahnya dipanggil kepala sekolah karena nilainya yang anjlog, bahkan dia akan terancam tidak naik kelas untuk yang ketiga kalinya. Ketika matanya hampir memejam kakak perempuannya telah membangunkannya.
"Kun, tangi... ganti klambi sik!" Aku sing ngumbai kesel". Sambil bersungut-sungut kakaknya itu mengingatkan Coco Kuncung.
" mbok mengko sik tho!, lagi nanggung".
"Dikandani ngengkel!" (Dibilangin bandel)
Kakak perempuannya terus mengomel tanpa henti, Coco Kuncung sebenarnya mengerti kalau kakaknya ini sayang padanya, tetapi untuk pikiran anak kelas 4 SD ia belum sampai dalam taraf menghadapi perasaan kakaknya yang lagi kesal. Meskipun begitu Coco Kuncung beranjak bangun dan melepas bajunya dengan memberengut. Disambarnya bakwan yang tergeletak di meja kayu, sambil melepas baju ia berjalan kearah sumur. Setelah ia meletakkan bajunya di jeding ia lalu berjalan ketimur kearah rumah wo Kerto. Ketika melewati rumah lik Warno ia berbelok kekanan dan mengintip Mas Mimik yang lagi mengetik skripsi dikamarnya, namun demikian ia dapat melihatnya dengan jelas dari jendela rumah itu. Setelah beberapa saat ia bertanya pada mas Mimik.

"Ngetik opo mas?"

"Ngetik skripsi". Jawab Mas Mimik acuh tak acuh, tanpa mempedulikan Coco Kuncung ia melanjutkan pekerjaannya. Namun demikian Coco Kuncung tidak juga beranjak pergi.

"Kok ngetik skripsi terus to mas? mbendino kok ngetik skripsi..... kuliah neng ndi to mas kowe?..Opo kuliahe ora lulus-lulus yo?"

Mendengar pertanyaan itu Mas Mimik jengkel dan mengusir Coco Kuncung pergi, langsung saja Mas Mimik menutup jendelanya. Coco Kuncung hanya dapat melihat dengan melongo dan tidak mengetahui kenapa Mas Mimik marah. Setelah jendelanya tertutup Coco Kuncung masih belum beranjak dari tempat itu, ia hanya mencoba membaca tulisan di jendela itu.

Setelah membaca beberapa baris ia lalu berjalan menuju pohon kedondong milik Wo Kerto,. Ketika dilihatnya Wo Kerto sedang berada didalam rumah, langsung saja ia mulai memanjat pohon kedondong itu. Tanpa kesulitan Kuncung telah berada diatas pohon, ketika didengarnya suara burung gagak berkaok-kaok diseberang Sungai Dengkeng ia tidak mempedulikannya. Bahkan saking asiknya ia tidak melihat Wo Kerto yang sedang pergi ke jamban, namun malang bagi Kuncung karena Wo Kerto telah melihatnya. Nenek tua yang terkenal bawel itu mendamprat Kuncung tanpa habis-habisnya, Wo Kerto menyuruh Kuncung untuk turun dari pohon.

"Bedug-bedug malah penekan, opo kowe ra krungu nuk gagak neng ndhuwur kali papah kae tho?"(Bedug-bedug manjat pohon, apa gak denger burung gagak diatas Sungai Papah).

"Gur manuk gagak'e kon ngapakne Wo?"(Cuma burung gagak aja mau diapakan Wo?"). Dengan entengnya Kuncung menjawab.

Tetapi Wo Kerto langsung menyahut.

"Hus! nek ono gagak kae mesti ono wong mati". (Kalauada burung gagak itu pasi ada orang meninggal). Sebenarnyalah Kuncung sering mendengar bahwa gagak itu sering dikaitkan dengan kematian seseorang di Paseban, tetapi ia merasa bahwa hal itu wajar. Tetapi tidak demiian dengan Wo Kerto, orang tua itu masih mempercayai hal-hal demikian. Bahkan setiap malam jumat kliwon ia masih melakukan kutuk ( ritual membakar kemenyan dan menaburkan bunga di setiap sudut rumah)

"Saben ndino yo mesti ono wong mati Wo, ngono wae kok repot". (Setiap hari pasti ada orang mati Wo, gitu aja kok repot). Kuncung langsung ngeloyor pergi meninggalkan nenek tua itu, tetapi Wo Kerto langsung memanggilnya.

"Kowe mbondot opo neng klambimu?". (Kamu bawa apa dibalik bajumu?)

"Dondong Wo". Jawab Kuncung dengan entengnya, dia memang mendapatkan tujuh buah kedondong yang disimpannya dibalik lipatan baju diperutnya.

"Kene gowo rene, ojo digowo!" (Bawa sini jangan dibawa!). Dengan muka masam Kuncung hanya bisa menurut, tetapi ia masih mencoba mempertahankan buah kedondong itu.

"Wo, kuwi rasae kecut banget lho!, opo meneh wetenge wong tuwo isoh bahaya kuwi!" (Itu rasanya masam sekali lho!, apa lagi perut orang tua bisa bahaya itu".

Sambil menerima kedondong itu Wo Kerto menjawab"Ooo iki dinggo putuku seko Solo"(ooo ini untuk cucuku dari Solo).

Tetapi Kuncung masih disisakan satu, itupun yang sedikit berlubang karena dimakan codot.

"Wedus!" Dalam hati Kuncung mengumpat tentang rangkaian kejadian yang menimpanya hari ini.

Burung gagak itu memang kadangkala bertengger diatas tempuran antara Sungai Dengkeng dan Sungai Papah, namun demikian sebagian orang tua mempercayai bahwa itu merupakan gagak pembawa kabar kematian.

Senin, 24 Agustus 2009

Hantu Bayat (Jaran Mbeker)

Kejadian ini diceritakan oleh orang yang sudah meninggal 12 th yang lalu.
Adalah seorang yang bernama Tjipto Sihono yang waktu itu berumur kurang lebih 30 tahun. Pada masa itu listrik belum ada apalagi penerangan lampu. Tetapi jalan sepanjang Kreteg (jembatan) Gede sampai dengan Banyuripan terdapat penerangan yang terbuat dari lampu senthir yang diletakkan didalam tiang, lampu model ini penulis masih mengalaminya.
Saat itu kejadiannya belum terlalu malam, sekitar pukul 11.00, tetapi keadaan sudah menjadi sepi sekali di Bayat, Tjipto Sihono baru saja mengunjungi kerabatnya yang berada di dekat Pasar Njalen. Biasanya dari Njalen jika menuju rumah dia akan menyeberang Kali Dengkeng, tetapi karena hari itu sudah malam ia memutuskan untuk menyusuri tanggul sungai, ketika ia akan sampai didepan rumah Pakdhe Dirjo tiba-tiba saja bulu tengkuknya merinding.
Didepan rumah Pakdhe Dirjo tepatnya dipojokan sebelah kiri memang terdapat gerumbul pohon bambu yang cukup lebat, belum lagi ditambah sebuah sumur tua sudah lama tidak dipakai.
"Wah iki arep ono opo".... Tjipto Sihono berfirasat buruk. Di gerumbul bambu memang ia sering mendengar luak/musang yang melolong-lolong sepanjang malam, tetapi itu memang sudah sewajarnya. Sayup-sayup dia mendengar ringkik kuda dari arah barat tepatnya dari depan rumah Hardjo Beras. Tidak lama berselang ia mendengar telopakan suara kaki kuda yang semakin kencang, didalam hati ia bertanya-tanya kuda siapakah yang malam-malam begini lewat dipinggir tanggul. Namun demikian ia menepi sedikit untuk memberi ruang kepada kuda yang lewat.
Tiba-tiba udara dingin langsung menusuk sumsum tulang bersamaan dengan melintasnya kuda tanpa penunggangnya, yang membuat dirinya dengkelen (tidak bisa bergerak) adalah ujud kuda tersebut. Sesosok kuda itu tubuhnya sebagian terdiri dari rangkanya dan daging tanpa terbungkus kulit.

Hantu Bayat (Ikan Gaib Blumbang Taman)

Ini adalah cerita dari pengalaman beberapa orang yang pernah saya dengar. Sebelumnya saya akan memberikan gambaran dari tempat yang bernama Bayat. Bayat adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten, kejadiannya berpusat di Kelurahan Paseban.

Ada blumbang (kolam) yang berada di bawah perbukitan Supit. Blumbang ini tiap tanggal satu suro selalu dimeriahkan dengan acara wayang kulit, adapun diblumbang ini banyak sekali ikan wader pari dan beberapa jenis ikan endemik. Sebagian warga sekitar mengetahui bahwa ikan dikolam ini sebagian adalah ikan yang tidak sewajarnya, apabila ada yang memancing mereka harus memiliki niat yang baik dan kepercayaan yang kuat. Tetapi pada umumnya orang-orang tidak memancing tempat tersebut.
Ada seorang pemuda dari Ds. Njalen yang memancing diblumbang ini, setelah beberapa saat ia mendapat ikan gabus sebesar lengan dewasa, tanpa pikir panjang ia langsung membawa kepasar Njalen yang berjarak kurang lebih 2 km. Dalam perjalanannya ia menenteng ikan itu, sehingga banyak orang yang memperhatikan. Ketika ia baru sampai didaerah masharlan ikannya ditawar seorang ibu2 tua.
"Iwake arep tok dol ra le?" (ikannya mau dijual nggak nak?)
"Iyo no mbokdhe". (iya dong bibi) Anak muda itu menjawab dengan senang
"Yo wis kene, tak tuku petangewu oleh ra?" (ya udah, aku beli 4.000,- boleh nggak)
"Wa yo ojo no, wong iwake sak lengene pakdhe Lamtho luwih kok".
Ia membandingkan ikan itu sebesar seorang yang bernama Pakdhe Lamto yang memang berbadan besar.
"Yo wis nek ora oleh le".
Pemuda itu meninggalkan ibu2 itu dengan muka kecewa, lalu ia meneruskan perjalanan dengan menyeberang kali Dengkeng melewati Ds. Menden. Ketika sampai di tanggul dekat rumah Bp. Gunarto ia bertemu seorang penjual kayu bakar dari Ds. Jothangan yang baru pulang dari pasar. Ketika ia melihat ikan itu, maka tertariklah dia.
"Tak tukune iwake le". Orang tua penjual kayu bakar itu mencoba merayu supaya ikan itu dijual.
"Lha wani piro Pakdhe?" Dengan mengangkat ikan tinggi-tinggi pemuda itu mencoba menaikkan harga jual ikan tersebut.
"Yo wis, tak tuku pitungewu oleh ra?" (ya sudah, aku beli 7.000,- boleh gak?)
Lalu dengan bersungut-sungut anak muda itu menjawab.
"Lha wong neng kono mau wis dinyang sepuluh ewu ora tak kekne, opo meneh pitungewu". (Disana tadi sudah ditawar 10.000 aja belum dikasih, apalagi cuma nawar 7.000). Pemuda ini mencoba membohongi orang tua penjual kayu bakar tersebut.
Tiba-tiba ikan itu menjawab dengan suara berat.
"Ngapusi kuwi pakdhe, wong mung dinyang petangewu kok".




Tanpa diberi aba-aba orang tua itu langsung bergegas meninggalkan anak muda itu, dengan perasaan ngeri ia masih teringat ketika mulut ikan itu bergerak dan berbicara layaknya manusia.

Sedangkan anak muda itu tanpa henti-hentinya meminta maap pada ikan itu.
"Ampun mbah, kulo nyuwun pangapunten". Karena takut terjadi sesuatu atas dirinya ia langsung berlari kembali menuju Blumbang Taman untuk mengembalikan ikan tersebut.

Minggu, 23 Agustus 2009

Hantu Bayat (Penampakan Asu Ajag)

Ini adalah cerita dari pengalaman beberapa orang yang pernah saya dengar. Sebelumnya saya akan memberikan gambaran dari tempat yang bernama Bayat. Bayat adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten, kejadiannya berpusat di Kelurahan Paseban.



Penampakan Asu Ajag :
Kejadiannya bermula ketika seorang pemuda dari Desa Menden yang bernama Soma Dabul pulang dari menonton acara panggung dangdut di terminal bayat. Sekitar pukul 02.00 pagi ia pulang bersama Joko Kethel, jarak terminal kerumah Soma Dabul hanya sekitar 1 km. Tetapi ketika sampai di pertigaan Ds. Ngabdanen tepatnya dipojok Rumah Pak Krido, Joko Kethel berbelok kekiri karena memang rumahnya terletak di Ds. Pandean.
"Ma... aku mulih ya".
"Yo Thel".
Soma Dabul meneruskan perjalanannya sendiri, ketika sampai warung Mbah Sosro dia berbelok ke kanan dijalan utama Menden yang mengarah ke Kali Dengkeng. Tiba-tiba saja perasaannya merasa tidak enak jalan sempit sepanjang 60 meter didepannya membentang gelap tampak menakutkan. Padahal setiap kali ia melewatinya tidak pernah terjadi apa-apa.
"Bahiman ngangsu ndodhok!!" Ia mengumpat dalam hati, tiba-tiba ia melihat sosok hitam sebesar anak sapi menyeberang dari kiri jalan. Sesosok hitam itu muncul dari belakang rumah Wo Kerto yang memang tidak pernah ditempati jika malam.
"Edan tenan... kuwi asu opo kebo!" Soma Dabul langsung lemas, serasa tulangnya telah copot dari badannya. Namun demikian Soma Dabul masih tetap memicingkan matanya, agaknya ia tidak mempercayai pandangannya. Sosok menyerupai Anjing besar itu berhenti sejenak ditengah jalan dan menengok kearah Soma Dabul, tetapi dengan santai Sosok Anjing besar menghilang di pategalan milik Lik Warno, tetapi anjing itu tidak melompati pagar pategalan itu. Anjing Besar itu menembus pagar daun tetean dan samar-samar mulai menghilang. Soma Dabul mengumpulkan segenap keberaniannya sejenak, setelah beberapa kali menyebut nama Allah SWT ia berlari menuju rumahnya.
Esok paginya ia bercerita kejadiannya kepada lik Warno, seorang yang dianggap tua didaerah Menden.
"Lik tenan niku lik, asune gedene sak pedhet (anak sapi)".
"Kowe ora popo tho?" Lik Warno menyahut
"Mboten lik, kulo mung dingeti thok, lha kulo langsung ngoplok".
Dengan tersenyum lik Warno hanya manggut-manggut saja. Tetapi reaksi Lik Warno yang demikian membuat Soma Dabul menilai orang tua yang berambut panjang agak berbeda, meskipun demikian ia segan untuk bertanya lebih lanjut.
Kejadian itu itu menjadi buah bibir di Menden selama berhari-hari, bahkan menjadikan aktivitas warga Menden berubah selama beberapa bulan. Orang-orang menghindari jalan utama Menden itu setelah malam.