Senin, 31 Agustus 2009

Hantu Bayat (Banaspati Gunung Jabalkat)

Joko Kethel menyusuri hutan di Gunung Jabalkat itu seorang diri. Hari yang mulai gelap tidak menyurutkan langkahnya. Sebenarnya ia memang berencana untuk menuju puncak Gunung Jabalkat itu. Joko Kethel memang dikenal sebagai seorang pemuda yang senang mesu diri & menepi di tempat-tempat yang terpencil. Tapa pendem dan tapa kungkum telah sering ia lakoni, tempaan diri yang sering dilakukan itu menjadikannya seorang pemuda yang matang dalam berpikir dan bertindak. Bersama sahabat karibnya yang tidak kalah saktinya : Soma Dabul, mereka adalah pasangan yang kompak dan disegani di Paseban.
Namun demikian ia tidak pernah terlibat dalam pertentangan yang sering terjadi didesanya. Joko Kethel adalah pemuda lajang yang tinggal bersama neneknya di dusun Pandean, sedangkan Soma Dabul tinggal bersama ayah dan adik-adiknya di desa Menden.
Kedua tempat ini masuk dalam wilayah Kalurahan Paseban. Adapun desa Pandean ini memang sering melahirkan beberapa jawara dari generasi ke generasi di Kalurahan Paseban.
Sebenarnyalah diawal 90’an beberapa kali terjadi benturan anak-anak muda antar kalurahan di Kecamatan Bayat. Salah satunya yang paling sering bersinggungan dengan Kelurahan Paseban adalah kelompok pemuda dari Kelurahan Jothangan yang dipimpin jawaranya yang bernama Colo. Namun demikian pertentangan ini hanya sebatas kesalah pahaman semata dan hanya sebagian kecil anak muda yang terlibat.
Seringkali Joko Kethel dan Soma Dabul diminta untuk ikut terlibat dalam pertentangan itu, karena mereka berdua dianggap punya kelebihan kanuragan. Tetapi mereka berdua selalu menanggapi dengan berbeda, maka yang sering terjadi adalah kedua anak muda itu hanya berbicara dengan pemimpin pemuda lawannya & mendamaikan mereka yang terlibat langsung dalam perkelahian.
Setelah sampai di puncak pegunungan Jabalkat, Kethel mulai duduk bersila dan menyilangkan tangannya. Sambil bersyukur kepada Tuhannya dan memohon rahmat kekuatan ia memantapkan hatinya dan membuka seluruh panca inderanya dengan alam. Biasanya hal ini dilakukannya hingga tengah malam sebelum ia melakukan latihan fisik dengan memanfaatkan alam sekitarnya.
Ketika dirasa selesai maka ia membuka matanya dan mulai melemaskan otot-ototnya yang tegang, Joko Kethel melanjutkannya dengan berlari menuruni Gunung Gede (masih satu rangkaian dengan Jabalkat) melompati beberapa parit yang menyerupai jurang-jurang sempit. Namun demikian ia sadar kalau sampai terjatuh atau terpeleset maka ia akan cedera berat atau bahkan nyawanya akan terlepas.
Setelah beberapa kali ia bolak balik Joko Kethel sampailah pada jurang yang dirasa paling berat, beberapa kali ia sudah melompatinya namun sekarang tenaganya mulai susut dan kakinya sedikit terasa pegal dan lemah. Dengan sisa tenaganya Joko Kethel dapat melompatinya juga biarpun dengan berguling beberapa kali.
Sambil tersenyum Joko Kethel membenahi rambutnya dan mula berjalan santai karena dirasanya latihannya hari ini selesai. Namun tiba-tiba didepannya muncul bara api yang besar seperti menghalanginya. Namun demikian ia tetap tenang, jika bukan Joko Kethel yang mengalaminya pastinya akan lari tunggang langgang. Didalam hati ia merasa bahwa ini bukan bara api yang sewajarnya. Sebagai seorang berhati mantap, ia memutuskan untuk berdiri menunggunya dan berharap bara api aneh itu menghilang dengan sendirinya. Tetapi apa yang ditunggu Joko Kethel itu tidak terlaksana karena bara api itu semakin membesar.

Dalam keheranannya Joko Kethel semakin jelas melihat bahwa bara api itu berasal dari kepala sesosok aneh yang mulai berdiri. Sosok itu berbentuk seperti raksasa dalam pewayangan, dalam hati Joko Kethel membatin bahwa dia telah melihat sosok banaspati, orang-orang tua didesanya sering bercerita bahwa di Gunung Gede ini sering muncul makhluk ini. Namun demikian Kethel mencoba untuk menghindarinya dan berbalik arah untuk mengambil jalan lain.
Tapi yang dilihatnya sungguh aneh dan sangat menyesatkan. Dengan hati berdebar ia memperhatikan jurang yang baru saja ia lompati telah berpindah tempat ketempat lain, atau tepatnya telah tertukar. Tempat yang semula padang rumput menjadi jurang dan sebaliknya. Untuk sesaat ia merasa ada yang tidak beres dengan matanya, maka dari itu Kethel memejamkan mata sejenak, lalu memusatkan panca inderanya.
Dengan demikian Kethel mencoba melihat dengan pemusatan pikiran. Ketika matanya membuka maka dilihatnya keadaan telah pulih dengan sediakala, jika ia tergesa-gesa apalagi panik ketika melihat banaspati itu maka ia akan mendapatkan celaka.
Sungguh gangguan yang mendebarkan jantung, dalam hati ia bersyukur karena telah terhindar dari marabahaya yang orang lain mungkin tidak pernah mengalaminya. Banaspati menurut anggapannya adalah hantu yang sangat berbahaya, mungkin setara dengan hantu keblak yang mengganggu dengan memunculkan pandangan semu. Ia masih membayangkan jika orang itu adalah orang yang berhati lemah dan kosong, tetapi orang yang berhati lemah dan penakut tidak akan lari turun naik gunung seperti dirinya.

Kamis, 27 Agustus 2009

Gagak pembawa khabar kematian

Siang itu sehabis pulang sekolah Coco Kuncung langsung melemparkan badannya di amben (tempat tidur) kayu rumahnya. Amben itu terasa sejuk walaupun hanya dialasi oleh galar (kulit bambu yang dibelah tipis-tipis & disusun), sekolahnya yang berada didekat kantor Kelurahan Paseban memang tidak begitu jauh, apalagi hari ini matahari yang menyengat membuatnya seditkit pusing. Tetapi bukan itu saja yang membebani pikirannya, teringat dikepalanya ketika nilai pelajaran bahasa indonesia mendapat angka 3, dan itu sudah sering ia dapatkan bahkan untuk beberapa mata pelajaran yang lain. Belum lama berselang ayahnya dipanggil kepala sekolah karena nilainya yang anjlog, bahkan dia akan terancam tidak naik kelas untuk yang ketiga kalinya. Ketika matanya hampir memejam kakak perempuannya telah membangunkannya.
"Kun, tangi... ganti klambi sik!" Aku sing ngumbai kesel". Sambil bersungut-sungut kakaknya itu mengingatkan Coco Kuncung.
" mbok mengko sik tho!, lagi nanggung".
"Dikandani ngengkel!" (Dibilangin bandel)
Kakak perempuannya terus mengomel tanpa henti, Coco Kuncung sebenarnya mengerti kalau kakaknya ini sayang padanya, tetapi untuk pikiran anak kelas 4 SD ia belum sampai dalam taraf menghadapi perasaan kakaknya yang lagi kesal. Meskipun begitu Coco Kuncung beranjak bangun dan melepas bajunya dengan memberengut. Disambarnya bakwan yang tergeletak di meja kayu, sambil melepas baju ia berjalan kearah sumur. Setelah ia meletakkan bajunya di jeding ia lalu berjalan ketimur kearah rumah wo Kerto. Ketika melewati rumah lik Warno ia berbelok kekanan dan mengintip Mas Mimik yang lagi mengetik skripsi dikamarnya, namun demikian ia dapat melihatnya dengan jelas dari jendela rumah itu. Setelah beberapa saat ia bertanya pada mas Mimik.

"Ngetik opo mas?"

"Ngetik skripsi". Jawab Mas Mimik acuh tak acuh, tanpa mempedulikan Coco Kuncung ia melanjutkan pekerjaannya. Namun demikian Coco Kuncung tidak juga beranjak pergi.

"Kok ngetik skripsi terus to mas? mbendino kok ngetik skripsi..... kuliah neng ndi to mas kowe?..Opo kuliahe ora lulus-lulus yo?"

Mendengar pertanyaan itu Mas Mimik jengkel dan mengusir Coco Kuncung pergi, langsung saja Mas Mimik menutup jendelanya. Coco Kuncung hanya dapat melihat dengan melongo dan tidak mengetahui kenapa Mas Mimik marah. Setelah jendelanya tertutup Coco Kuncung masih belum beranjak dari tempat itu, ia hanya mencoba membaca tulisan di jendela itu.

Setelah membaca beberapa baris ia lalu berjalan menuju pohon kedondong milik Wo Kerto,. Ketika dilihatnya Wo Kerto sedang berada didalam rumah, langsung saja ia mulai memanjat pohon kedondong itu. Tanpa kesulitan Kuncung telah berada diatas pohon, ketika didengarnya suara burung gagak berkaok-kaok diseberang Sungai Dengkeng ia tidak mempedulikannya. Bahkan saking asiknya ia tidak melihat Wo Kerto yang sedang pergi ke jamban, namun malang bagi Kuncung karena Wo Kerto telah melihatnya. Nenek tua yang terkenal bawel itu mendamprat Kuncung tanpa habis-habisnya, Wo Kerto menyuruh Kuncung untuk turun dari pohon.

"Bedug-bedug malah penekan, opo kowe ra krungu nuk gagak neng ndhuwur kali papah kae tho?"(Bedug-bedug manjat pohon, apa gak denger burung gagak diatas Sungai Papah).

"Gur manuk gagak'e kon ngapakne Wo?"(Cuma burung gagak aja mau diapakan Wo?"). Dengan entengnya Kuncung menjawab.

Tetapi Wo Kerto langsung menyahut.

"Hus! nek ono gagak kae mesti ono wong mati". (Kalauada burung gagak itu pasi ada orang meninggal). Sebenarnyalah Kuncung sering mendengar bahwa gagak itu sering dikaitkan dengan kematian seseorang di Paseban, tetapi ia merasa bahwa hal itu wajar. Tetapi tidak demiian dengan Wo Kerto, orang tua itu masih mempercayai hal-hal demikian. Bahkan setiap malam jumat kliwon ia masih melakukan kutuk ( ritual membakar kemenyan dan menaburkan bunga di setiap sudut rumah)

"Saben ndino yo mesti ono wong mati Wo, ngono wae kok repot". (Setiap hari pasti ada orang mati Wo, gitu aja kok repot). Kuncung langsung ngeloyor pergi meninggalkan nenek tua itu, tetapi Wo Kerto langsung memanggilnya.

"Kowe mbondot opo neng klambimu?". (Kamu bawa apa dibalik bajumu?)

"Dondong Wo". Jawab Kuncung dengan entengnya, dia memang mendapatkan tujuh buah kedondong yang disimpannya dibalik lipatan baju diperutnya.

"Kene gowo rene, ojo digowo!" (Bawa sini jangan dibawa!). Dengan muka masam Kuncung hanya bisa menurut, tetapi ia masih mencoba mempertahankan buah kedondong itu.

"Wo, kuwi rasae kecut banget lho!, opo meneh wetenge wong tuwo isoh bahaya kuwi!" (Itu rasanya masam sekali lho!, apa lagi perut orang tua bisa bahaya itu".

Sambil menerima kedondong itu Wo Kerto menjawab"Ooo iki dinggo putuku seko Solo"(ooo ini untuk cucuku dari Solo).

Tetapi Kuncung masih disisakan satu, itupun yang sedikit berlubang karena dimakan codot.

"Wedus!" Dalam hati Kuncung mengumpat tentang rangkaian kejadian yang menimpanya hari ini.

Burung gagak itu memang kadangkala bertengger diatas tempuran antara Sungai Dengkeng dan Sungai Papah, namun demikian sebagian orang tua mempercayai bahwa itu merupakan gagak pembawa kabar kematian.

Senin, 24 Agustus 2009

Hantu Bayat (Jaran Mbeker)

Kejadian ini diceritakan oleh orang yang sudah meninggal 12 th yang lalu.
Adalah seorang yang bernama Tjipto Sihono yang waktu itu berumur kurang lebih 30 tahun. Pada masa itu listrik belum ada apalagi penerangan lampu. Tetapi jalan sepanjang Kreteg (jembatan) Gede sampai dengan Banyuripan terdapat penerangan yang terbuat dari lampu senthir yang diletakkan didalam tiang, lampu model ini penulis masih mengalaminya.
Saat itu kejadiannya belum terlalu malam, sekitar pukul 11.00, tetapi keadaan sudah menjadi sepi sekali di Bayat, Tjipto Sihono baru saja mengunjungi kerabatnya yang berada di dekat Pasar Njalen. Biasanya dari Njalen jika menuju rumah dia akan menyeberang Kali Dengkeng, tetapi karena hari itu sudah malam ia memutuskan untuk menyusuri tanggul sungai, ketika ia akan sampai didepan rumah Pakdhe Dirjo tiba-tiba saja bulu tengkuknya merinding.
Didepan rumah Pakdhe Dirjo tepatnya dipojokan sebelah kiri memang terdapat gerumbul pohon bambu yang cukup lebat, belum lagi ditambah sebuah sumur tua sudah lama tidak dipakai.
"Wah iki arep ono opo".... Tjipto Sihono berfirasat buruk. Di gerumbul bambu memang ia sering mendengar luak/musang yang melolong-lolong sepanjang malam, tetapi itu memang sudah sewajarnya. Sayup-sayup dia mendengar ringkik kuda dari arah barat tepatnya dari depan rumah Hardjo Beras. Tidak lama berselang ia mendengar telopakan suara kaki kuda yang semakin kencang, didalam hati ia bertanya-tanya kuda siapakah yang malam-malam begini lewat dipinggir tanggul. Namun demikian ia menepi sedikit untuk memberi ruang kepada kuda yang lewat.
Tiba-tiba udara dingin langsung menusuk sumsum tulang bersamaan dengan melintasnya kuda tanpa penunggangnya, yang membuat dirinya dengkelen (tidak bisa bergerak) adalah ujud kuda tersebut. Sesosok kuda itu tubuhnya sebagian terdiri dari rangkanya dan daging tanpa terbungkus kulit.

Hantu Bayat (Ikan Gaib Blumbang Taman)

Ini adalah cerita dari pengalaman beberapa orang yang pernah saya dengar. Sebelumnya saya akan memberikan gambaran dari tempat yang bernama Bayat. Bayat adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten, kejadiannya berpusat di Kelurahan Paseban.

Ada blumbang (kolam) yang berada di bawah perbukitan Supit. Blumbang ini tiap tanggal satu suro selalu dimeriahkan dengan acara wayang kulit, adapun diblumbang ini banyak sekali ikan wader pari dan beberapa jenis ikan endemik. Sebagian warga sekitar mengetahui bahwa ikan dikolam ini sebagian adalah ikan yang tidak sewajarnya, apabila ada yang memancing mereka harus memiliki niat yang baik dan kepercayaan yang kuat. Tetapi pada umumnya orang-orang tidak memancing tempat tersebut.
Ada seorang pemuda dari Ds. Njalen yang memancing diblumbang ini, setelah beberapa saat ia mendapat ikan gabus sebesar lengan dewasa, tanpa pikir panjang ia langsung membawa kepasar Njalen yang berjarak kurang lebih 2 km. Dalam perjalanannya ia menenteng ikan itu, sehingga banyak orang yang memperhatikan. Ketika ia baru sampai didaerah masharlan ikannya ditawar seorang ibu2 tua.
"Iwake arep tok dol ra le?" (ikannya mau dijual nggak nak?)
"Iyo no mbokdhe". (iya dong bibi) Anak muda itu menjawab dengan senang
"Yo wis kene, tak tuku petangewu oleh ra?" (ya udah, aku beli 4.000,- boleh nggak)
"Wa yo ojo no, wong iwake sak lengene pakdhe Lamtho luwih kok".
Ia membandingkan ikan itu sebesar seorang yang bernama Pakdhe Lamto yang memang berbadan besar.
"Yo wis nek ora oleh le".
Pemuda itu meninggalkan ibu2 itu dengan muka kecewa, lalu ia meneruskan perjalanan dengan menyeberang kali Dengkeng melewati Ds. Menden. Ketika sampai di tanggul dekat rumah Bp. Gunarto ia bertemu seorang penjual kayu bakar dari Ds. Jothangan yang baru pulang dari pasar. Ketika ia melihat ikan itu, maka tertariklah dia.
"Tak tukune iwake le". Orang tua penjual kayu bakar itu mencoba merayu supaya ikan itu dijual.
"Lha wani piro Pakdhe?" Dengan mengangkat ikan tinggi-tinggi pemuda itu mencoba menaikkan harga jual ikan tersebut.
"Yo wis, tak tuku pitungewu oleh ra?" (ya sudah, aku beli 7.000,- boleh gak?)
Lalu dengan bersungut-sungut anak muda itu menjawab.
"Lha wong neng kono mau wis dinyang sepuluh ewu ora tak kekne, opo meneh pitungewu". (Disana tadi sudah ditawar 10.000 aja belum dikasih, apalagi cuma nawar 7.000). Pemuda ini mencoba membohongi orang tua penjual kayu bakar tersebut.
Tiba-tiba ikan itu menjawab dengan suara berat.
"Ngapusi kuwi pakdhe, wong mung dinyang petangewu kok".




Tanpa diberi aba-aba orang tua itu langsung bergegas meninggalkan anak muda itu, dengan perasaan ngeri ia masih teringat ketika mulut ikan itu bergerak dan berbicara layaknya manusia.

Sedangkan anak muda itu tanpa henti-hentinya meminta maap pada ikan itu.
"Ampun mbah, kulo nyuwun pangapunten". Karena takut terjadi sesuatu atas dirinya ia langsung berlari kembali menuju Blumbang Taman untuk mengembalikan ikan tersebut.

Minggu, 23 Agustus 2009

Hantu Bayat (Penampakan Asu Ajag)

Ini adalah cerita dari pengalaman beberapa orang yang pernah saya dengar. Sebelumnya saya akan memberikan gambaran dari tempat yang bernama Bayat. Bayat adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten, kejadiannya berpusat di Kelurahan Paseban.



Penampakan Asu Ajag :
Kejadiannya bermula ketika seorang pemuda dari Desa Menden yang bernama Soma Dabul pulang dari menonton acara panggung dangdut di terminal bayat. Sekitar pukul 02.00 pagi ia pulang bersama Joko Kethel, jarak terminal kerumah Soma Dabul hanya sekitar 1 km. Tetapi ketika sampai di pertigaan Ds. Ngabdanen tepatnya dipojok Rumah Pak Krido, Joko Kethel berbelok kekiri karena memang rumahnya terletak di Ds. Pandean.
"Ma... aku mulih ya".
"Yo Thel".
Soma Dabul meneruskan perjalanannya sendiri, ketika sampai warung Mbah Sosro dia berbelok ke kanan dijalan utama Menden yang mengarah ke Kali Dengkeng. Tiba-tiba saja perasaannya merasa tidak enak jalan sempit sepanjang 60 meter didepannya membentang gelap tampak menakutkan. Padahal setiap kali ia melewatinya tidak pernah terjadi apa-apa.
"Bahiman ngangsu ndodhok!!" Ia mengumpat dalam hati, tiba-tiba ia melihat sosok hitam sebesar anak sapi menyeberang dari kiri jalan. Sesosok hitam itu muncul dari belakang rumah Wo Kerto yang memang tidak pernah ditempati jika malam.
"Edan tenan... kuwi asu opo kebo!" Soma Dabul langsung lemas, serasa tulangnya telah copot dari badannya. Namun demikian Soma Dabul masih tetap memicingkan matanya, agaknya ia tidak mempercayai pandangannya. Sosok menyerupai Anjing besar itu berhenti sejenak ditengah jalan dan menengok kearah Soma Dabul, tetapi dengan santai Sosok Anjing besar menghilang di pategalan milik Lik Warno, tetapi anjing itu tidak melompati pagar pategalan itu. Anjing Besar itu menembus pagar daun tetean dan samar-samar mulai menghilang. Soma Dabul mengumpulkan segenap keberaniannya sejenak, setelah beberapa kali menyebut nama Allah SWT ia berlari menuju rumahnya.
Esok paginya ia bercerita kejadiannya kepada lik Warno, seorang yang dianggap tua didaerah Menden.
"Lik tenan niku lik, asune gedene sak pedhet (anak sapi)".
"Kowe ora popo tho?" Lik Warno menyahut
"Mboten lik, kulo mung dingeti thok, lha kulo langsung ngoplok".
Dengan tersenyum lik Warno hanya manggut-manggut saja. Tetapi reaksi Lik Warno yang demikian membuat Soma Dabul menilai orang tua yang berambut panjang agak berbeda, meskipun demikian ia segan untuk bertanya lebih lanjut.
Kejadian itu itu menjadi buah bibir di Menden selama berhari-hari, bahkan menjadikan aktivitas warga Menden berubah selama beberapa bulan. Orang-orang menghindari jalan utama Menden itu setelah malam.