Selasa, 06 Oktober 2009

Ki Sukir Menangkap Maling


Bayat, November 1981


Sore itu Ki Sukir baru saja selesai buang air besar di Sungai Dengkeng. Pada masa ini penduduk Paseban sebagian besar masih menggunakan sungai sebagai tempat buang hajat.
Bahkan setiap sore orang dari Craken, Ngabdanen, Pandean, Taman, Pase bahkan Krikilan ikut berpartisipasi memberi makan ikan yang hidup di Sungai Dengkeng. Kebanyakan sepeda mereka diparkir didepan rumah Ki Dirjo dan sebagian di rumah Ki Gunarto. Karena banyaknya orang buang air di sungai itu, jika musim kemarau dan sungai kering banyak sekali ditumbuhi pohon cabai dan tomat. Hal ini diperkuat dengan banyaknya orang Paseban yang suka sambel mentah mengakibatkan banyak pohon cabai dan tomat yang tumbuh disungai Dengkeng.

Setelah membersihkan diri secukupnya Ki Sukir lalu melepaskan kaos oblongnya, nampaknya kegiatan yang baru saja dilakukannya membuat tubuhnya keringetan. Lalu ia berjalan menyusuri tanggul menuju rumahnya.

Baru beberapa langkah ia berjalan ia dikejutkan suara gaduh dari arah timur, namun demikian ia tidak mempedulikan suara gaduh yang memang terdengar jauh.
Ki Sukir memang seorang yang tanggap dan memiliki bekal olah kanuragan, akhirnya berhenti sejenak dan menongok kebelakang. Yang dilihatnya saat itu adalah seorang anak muda yang sedang berlari menuju arah barat.
Ketika anak muda itu lewat disampingnya, tanpa banyak mulut langsung disabetnya anak muda itu menggunakan bajunya.

“Plakk”. Suaranya nyaring sekali, baju yang sedikit basah oleh keringat itu tepat mengenai mukanya, tanpa ampun anak muda itu langsung terjatuh pingsan. Setelah beberapa saat barulah diketahui kalau anak muda itu seorang pencuri yang melarikan diri.

Beberapa orang pengejar yang melihat kejadian itu terus memperbincangkan kejadian itu dan menganggap kalau Ki Sukir mempunyai daya linuwih. Bahkan ada beberapa yang menanyakannya secara langsung, namun demikian Ki Sukir hanya tersenyum.

Setelah lewat beberapa puluh tahun, pernah juga saya tanyakan langsung, tetapi Ki Sukir hanya memberi keterangan kalau bajunya itu sedikit basah sehingga memberikan efek yang dahsyat ketika dipakai untuk menyabet. Jika hal itu dianggap kurang dahsyat beliau menambahkan kalau bajunya tidak dicuci selama seminggu.

Hantu Bayat (Memedi Colok)

Pagi itu Slamet sedang mencuci mukanya di jeding untuk menghilangkan kantuknya Hari masih gelap dan dingin, akan tetapi Slamet tetap meneruskan rencananya untuk mruput gayam dirumah Wo Kerto Mencik.
Setelah merasa hilang kantuknya, Slamet berjalan menyusur tanggul dan berbelok kekanan menuju kebon belakang rumah Wo Kerto. Akan tetapi langkahnya terhenti ketika ia melihat nyala pelita kecil menyerupai lilin yang tiba-tiba berada didepannya.
Slamet yang waktu itu masih kelas empat SD, dengan rasa ingin tahu lalu mengikuti pelita itu, dalam benaknya ia hanya tertarik untuk meniupnya.
Sebenarnya pelita itu adalah salah satu hantu colok yang memang banyak terdapat di Bayat. Tanpa sadar Slamet terus mengikuti colok yang semakin masuk kedalam kebon yang lebat.
Ketika nyala colok itu padam, Slamet menyadari kalau dirinya telah berada dibagian kebon yang paling lebat.
Dalam keadaan yang wajar ia sendiri tidak akan masuk kedalam bagian ini, karena ditempat ini pasti banyak terdapat ular dan serangga.
Akhirnya Slamet lari terbirit-birit menuju rumahnya, hampir saja ia menabrak ayahnya yang akan mengisi jamban. Ki Madiyo hanya geleng-geleng melihat tingkah laku anaknya yang dianggap aneh.

Misteri Mbok Trimo Ceko


Nenek tua ini merupakan penjaga setia Makam Ki Ageng Pandanaran Bayat, dengan berbekal sapu lidi dan sebatang rokok yang ajeg terselip di tangan kirinya, Mbok Trimo ini selalu membersihkan anak tangga yang membentang dari gapura atas sampai dengan gapura bawah.
Senyumnya yang ramah selalu menyapa para tamu yang datang, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari ia hanya mengandalkan pemberian sekedarnya dari para tamu.
Namun demikian dibalik senyumnya itu menyimpan suatu keanehan yang mendebarkan, ditambah lagi keadaanya yang alakadarnya dan sering tidur dibawah langit membuat nenek ini semakin misterius.
Seorang dari luar daerah yang sering mesu diri di Bayat pasti mengenal dengan sosok yang ramah ini, bahkan seolah nenek ini menjadi nara sumber tentang pertanda-pertanda yang tidak kasat mata. Walaupun jawaban yang terkesan asal dan ngawur, akan tetapi orang-orang itu selalu sabar dan menghormatinya. Pertanda-pertanda ini bagi sebagian besar orang mungkin hanya dianggap sebagai kejadian alam yang wajar.
Beberapa tahun lalu ketika SDSB masih ada, ada tamu yang berasal dari Solo seminggu dua kali datang ke Makam hanya untuk mendengar jawaban Mbok Trimo ini.

Senin, 05 Oktober 2009

Onggo - Inggi Sungai Bayat

Onggo-Inggi Sungai Dengkeng

Sore itu menantu Mbah Gondo terlibat percekcokan kecil dengan isterinya, namun demikian masalahnya tidak segera selesai. Mbah Gondo masih terus saja mengomel sepanjang waktu seperti burung murai yang sudah jadi.
Namun demikian laki-laki itu agaknya sudah terbiasa, dengan santainya ia malah mengambil nasi didalam cething.
“Lawuhe ndi mbok?” Karena Mbah Gondo tidak menyahut, akhirnya ia beranjak dari duduknya dan memeriksa glodok tempat menyimpan makanan. Tetapi yang ditemukannya hanya sambel terasi yang tinggal sedikit, dengan muka memberengut akhirnya ia memakan juga nasi itu.
“Edan pedes tenan”. Dengan mata melotot ia mengunyah nasi sambel itu, beberapa kali ia minum dari kendi tetapi rasa-rasanya mulutnya seperti mengunyah bara. “Lombok’e mesti methik neng neroko”. Laki-laki itu berdesis.
Sementara itu diruang sebelah Mbah Gondho masih terus mengomeli menantunya yang masih muda itu akhirnya tidak tahan juga. Dengan tiba-tiba ia menyentakkan meja didepannya, tentu saja barang-barang yang berada diatasnya berantakan semua. Gelas, kendi dan lemper berisi sambel ikut pula jatuh ke lantai.
Namun demikian barang-barang itu tidak ada yang pecah, karena lantainya memang masih tanah.
Sambil menyalakan rokok ia bergegas meninggalkan rumah, namun baru beberapa langkah dari pintu perutnya tiba-tiba saja melilit perih. Dalam hati ia merasa kalau dirinya telah kualat kepada istri dan mertuanya, tetapi perasaan itu selalu dibuangnya jauh-jauh. Bahkan ia beberapa kali melakukan tindakan yang lebih keras.
Karena tidak tahan lagi akhirnya ia menuju WC terpanjang di daerah itu untuk buang air besar. Ketika melewati rumah Ki Sukir ia sempat berpapasan dengan Mangun dan Coco Kuncung.
“Neng ndi kang?” Sapa Mangun ramah.
“Ngising!” sahut Menantu Mbah Gondo singkat, sambil berlari-lari kecil ia segera menuju tanggul didepan rumah Ki Dirjo yang kosong.
Setelah berada di pinggir kali ia melepas sendalnya dan segera melorotkan celananya, seperti suara baju robek beban yang sudah ditahannya itu keluar tanpa terkendali.“brrreeeeetttttt….tettt….tetttt..tet…..te…ttttt…srrrr…serrrrr….”. Untunglah badannya sudah menghadap ke tanggul sehingga ia dalam posisi membelakangi sungai, beruntunglah benda kekuning-kuningan itu semuanya telah berada diair.
Namun karena dibagian pinggir airnya tidak mengalir dan hanya sebatas mata kaki, maka kotoran itu tetap tinggal dan telah membentuk garis lurus yang panjangnya hampir dua meter. Sambil mengamati jijik akhirnya laki-laki itu berpindah agak ketengah sehingga beberapa bagian tubuhnya terendam air, hal ini menyebabkan ia merasa sejuk.
Sambil melamun pikirannya telah membayangkan sabung ayam yang akan dilakukannya besok pagi, jika menang ia akan menyerahkan sebagian besar uangnya kepada mertuanya. Dengan demikian maka orang tua itu akan lebih menghargainya walaupun untuk beberapa saat.
Namun tanpa disadarinya ada satu makhluk air yang menyerupai cumi-cumi besar merayap mendekatinya. Laki-laki itu hanya merasa kalau (maaf) bagian bawah tubuhnya telah dicebokin seseorang, namun demikian ia tidak menjadi takut.
Menantu Mbah Gondo itu merasa kalau itu hanyalah ikan wader yang memang banyak terdapat disungai itu, lalu dengan tangan kirinya ia menepis benda yang menyentuhnya itu. Tetapi terkejutlah ia bahwa tangan kirinya telah ditepis pula oleh makhluk yang disangkanya ikan itu, ia masih menyangka kalau ikannya tentulah ikan yang besar.
Maka dengan dongkol ia menggunakan tangan kanannya untuk mengusir makhluk yang disangkanya ikan itu, tetapi agaknya makhluk itu juga merasa jengkel sehingga tanpa disangka kedua tangan yang berada diair itu serasa dipegang oleh tangan yang halus dan licin.
Belum usai dengan rasa kagetnya maka ia merasa telah dicebokin lagi seperti anak kecil yang selesai buang air besar dan dibersihkan oleh ibunya, dengan ngeri ia sekuat tenaga meronta dan menengok kebawah.
Dilihatnya bayangan putih berada diantara kedua kakinya dengan tangan banyak sekali menyerupai cumi-cumi besar. Setelah beberapa saat berteriak dan meronta akhirnya makhluk air itu melepaskannya juga. Tanpa membuang waktu Menantu Mbah Gondo lari tunggang langgang dengan mendekap celananya yang masih berantakan.
Ketika ia sampai didepan rumah Ki Sukir ia bertemu lagi dengan Mangun & Coco Kuncung yang sedang berjalan menuju kearah sungai.
“Ono opo mas?” Tanya mangun keheranan
“Onggo Inggi”. Jawab Menantu Mbah Gondo singkat.
Sambil perpandangan Kuncung dan Mangun tersenyum heran.
“Uwis tuo kok ijik percoyo onggo inggi”. Sahut Kuncung
“Ijik wani ngising ra Kun?” Tanya Mangun. Sebenarnya kedua orang ini memang akan buang air besar di Sungai Dengkeng, namun agaknya mereka menunggu hari sedikit gelap karena malu terhadap beberapa anak gadis yang rumahnya disamping tanggul sungai.
“Kenopo ra wani Ngun”. Sahut Kuncung. Akhirnya mereka berdua menuju pinggir sungai itu. Tetapi alangkah terkejutnya ketika mereka melihat sendal Menantu Mbah Gondo yang tertinggal
“Wah sendale ketinggalan”. Dengan reflek Mangun akan memungut sendal itu dan berencana untuk mengembalikannya.
“Awas, ojo Ngun!”
Teriak Kuncung sambil menunjuk garis lurus kuning membujur diantara sendal itu.
Ketika Mangun mengamatinya maka sambil menutup mulutnya ia langsung meninggalkan sungai itu.
Hampir muntah Mangun berjalan menuju sumur Ki Warno, dengan cepat ditimbanya air dan dicucinya tangan serta kakinya berulang-ulang.
Sementara itu Kuncung hanya tertawa tanpa henti, tetapi tidak demikian dengan Mangun. Sambil misuh-misuh ia masih saja mencuci tangannya.
Mas mimik yang kebetulan berada di gandok belakang lalu keluar mendengar keributan itu.
“Ono opo Kun?” Tanya mas Mimik sambil memegang piring.
“Ono Onggo-inggi mas neng kali”. Jawab Kuncung
“Ho’o mas ono onggo-inggi”. Jawab Mangun, sekarang dirinyalah yang terpingkal-pingkal tanpa henti.
Sementara itu Mas Mimik tidak menghiraukan lagi kedua anak muda itu.