Rabu, 09 September 2009

Misteri Tuyul Blumbang Taman

Blumbang/kolam itu tidak lebih dari 300 m2, berdiri dibawah lereng Gunung Malang (masih satu rangkaian dengan Gunung Jabalkat). Namun demikian kesan mistis terasa sekali, tempat ini kesohor sampai didaerah Solo, Jogja dan Semarang. Didalam Blumbang banyak sekali ikannya tetapi hanya sedikit orang yang berani memancing.

Letaknya berada dipinggiran desa Taman dan sangat sepi. Namun demikian tempat ini mempunya seorang juru kunci yang bernama Ki Pur Gelunk, orang ini bertugas melayani para tamu yang datang.

Adapun tamu yang datang ke Blumbang Taman ini seluruhnya berasal dari luar Bayat, tamu yang datang tidaklah sebanyak seperti di Makam Ki Ageng Pandanaran yang hanya berjarak 1000 m dari tempat ini.
Yang paling unik adalah tamu yang datang kesini adalah untuk mencari pesugihan/kekayaan dengan cara cepat adengan jalan mencari tuyul. Bahkan prosesi upacara pencarian tuyul itu saya pernah melihatnya sendiri.

Bagi pencari tuyul diharuskan membawa ubo rampe berupa kendi satu buah, pisang raja satu sisir, tembakau, kemenyan, daun sirih, uang seikhlasnya (semakin banyak akan mendapatkan tuyul yang skill nya semakin bagus), gambir dan yang tidak kalah penting adalah kesadaran akan konsekuensinya. Tentunya hal-hal demikian mempunyai akibat. Mungkin pembaca ada yang tertarik?

Upacara yang kebetulan pernah saya lihat adalah begini :

Pertama-tama Ki Juru Kunci akan membawa tamu ke bibir kolam yang ada anak tangganya, lalu Ki Juru komat-kamit membaca ramalan. Setelah beberapa saat, Ki Juru lalu membenamkan kendi dari tamu itu kedalam kolam.

Setelah terisi penuh dari air kolam, maka kedua lubang kendi ditutup menggunakan ubo rampe yang dibawa tamu. Setelah itu kendi siap dibawa pulang kerumah tamu dan esok harinya sudah berisi tuyul yang siap beraksi.

Tetapi masih ada dua pertanyaan yang masih belum terjawab bagi saya.
Apakah uangnya dipakai juga untuk menutup kendi tersebut?

Pertanyaan kedua, kenapa orang-orang yang datang berasal dari luar Bayat?

Selasa, 01 September 2009

Seban di Drop



Suara gemerincing itu benar-benar membuat hati kecut. Dengan mengendarai enam sepeda motor, anak muda Desa Jothangan itu datang menyatroni Desa Paseban, mereka mencari beberapa anak muda Paseban yang telah terlibat perkelahian ketika menonton pertunjukan Kethoprak di Lapangan Mah Miring.
Disepanjang jalan mereka sengaja menyeret klewangnya (pedang panjang) sehingga membuat orang-orang ngeri, setelah tidak ada anak muda Paseban yang menanggapi, mereka akhirnya berkumpul di pos ronda yang berada disebelah timur rumah Bidan Lilik.

Namun demikian anak muda Paseban sebenarnya telah mempersiapkan diri juga, tetapi mereka masih menunggu dan menahan diri sambil mengumpulkan kekuatan tandingan sebelum mereka keluar menyerang.
Beberapa pemuda yang telah berkumpul adalah Gandum, Kepek, Klowor, Teco, Bambang Garenk, Kenthir, Andri Celeng, Jendhil, Pudjo Munyuk, Sono & Harco

"Ndum piye ki, Kethel wis ketok rung?"Klowor menanyakan keberadaan Joko Kethel kepada Gandum,
Didalam hatinya dia agak khawatir untuk menyongsong anak-anak Jothangan karena dirasa kekuatannya belum cukup, mereka berharap Joko Kethel ada disitu. Menurut laporan yang diterimanya dari Pudjo Munyuk, kalau dalam rombongan anak-anak Jothangan itu terdapat Colo, seorang jawara ngetop dan ditakuti dari Jothangan.

"Pek, piye Joko Kethel karo Soma Dabul wis ono kabare?"

"Kethel lagi disusul karo Njedhir, nek Soma lagi mangan, paling delok engkas rene!" Sambil mengelus-elus punggung Wanto Mbendhol, Kepek menyahut dengan santainya.
"Asui!!.. rasah ndemok-ndemok Pek!! Sambil bersungut-sungut Wanto mbendol menjauh dari Kepek.
Pudjo yang melihat hal itu hanya senyum-senyum geli dan ikut menimpali" Rasah gengsi Ndol, wong kowe yo menikmati tho?"
"Cangkemu Djo!"
Sementara itu tidak lama berselang tiba-tiba dari arah selatan muncul Dogle dengan mata merah, bau ciu sangat terasa dari nafasnya.

"Wis kene, tak tandangine dhewe!, ora usah nunggu Kethel!"

Dengan beringas Dogle akan menyongsong anak muda dari Jothangan itu, tetapi teman-temannya yang lain langsung mencegahnya.

Sambil memelintir kumisnya yang panjang Jendhil berkata "Rasah kemaki Gle, kowe ngko malah di kosek karo Colo!"Jendhil merasa kalau kelakuan Dogle sudah keterlaluan dan gegabah.

Akan tetapi Dogle yang mendengar perkataan itu menjadi marah, apalagi pengaruh ciu yang tadi ditenggak diwarung Pakdhe Danu membuat nalarnya kabur."Cangkemu ditoto Ndhil, Dogle menyalak dengan sengit.

Sementara itu Gandum dengan santai menyilangkan tangan tetapi ia masih membisu. Dilihatnya Gareng, Kepek, Andri Celeng, Klowor & Teko sudah bersiap menengahi, didalam hati ia menyesalkan pertentangan yang terjadi diantara kawan sendiri. Apalagi diseberang jalan telah berkumpul anak-anak Jothangan yang siap menyerang

Tidak mau kalah Jendhil juga sudah mengepalkan tangannya, matanya masih menatap tajam Dogle. Ketika suasana menjadi semakin tegang dari arah timur muncul Soma Dabul bersama Koyim & Kempoel
Dengan sengaja Soma Dabul menampar kencang daun pisang yang ada didepannya"Plakkk!!!" "Dho ngopo cah?

Serentak orang-orang yang ada disitu memandang Soma Dabul, namun demikian pertengkaran antara Dogle dan Jendhil itu dengan sendirinya selesai.


Setelah berembug sebentar, gerombolan anak paseban yang semuanya menggunakan jaket COLOMBO itu mulai mendekat kearah anak-anak Jothangan. Sementara itu iring-iringan mulai bertambah jumlahnya, Cowex, Mangun, Bonjong & Coco Kuncung ikut bergabung.

Didalam hati sebenarnya Soma Dabul tidak begitu berminat untuk terlibat dalam pertengkaran itu, tetapi ketika dilihatnya dua adiknya ada disitu akhirnya ia ikut melibatkan diri juga.

Akan tetapi mereka menjadi bingung ketika dilihatnya Joko Kethel sedang asyik ngobrol dengan Colo, lalu ada Njedhir yang sedang merokok dibelakang Kethel. Sementara itu anak-anak Jothangan yang lain sedang duduk-duduk santai dan senjata mereka sudah tersimpan.

Kedatangan anak-anak Seban sempat mengagetkan Joko Kethel, sambil berlari-lari kecil ia berkata "Wis ora ono opo-opo, gek dho salaman!"

Anak-anak Paseban menjadi tambah bingung tetapi akhirnya mengikuti dan ikut bersalaman dengan anak-anak Jothangan.
Sementara itu Gandum, Kethel & Soma Dabul asyik mengobrol dengan Colo dan beberapa jawara Jothangan yang ada disitu.

Njedhir yang merasa dirinya sebagai kemenakan Kethel ikut juga berada disitu, sedangkan anak-anak Paseban yang lain memilih untuk berada diwarung Mbah Sosro dan menghisap rokok untuk menghilangkan ketegangan.

Setelah beberapa saat akhirnya Pemuda Jothangan berpamitan. Dengan sedikit berbasa-basi mereka bersalaman dengan sedikit meminta maaf.
Ketika tiba Colo bersalaman dengan Njedhir, dengan lantangnya Njedhir berkata "Delok'en ki cah, Colo wae njaluk ngapuro karo aku......"
"Cik Dus!" teriak anak-anak Paseban hampir berbarengan.





Hantu Bayat (Macan Kumbang Siluman Jabalkat)

Sore itu diawal tahun 90an Ki Dadiyo sedang mendapatkan pekerjaan borongan untuk mengangkut air kedalam makam Sunan Pandanaran. Air itu akan dipergunakan untuk mengisi dua gentong Sinogo dan satu bak mandi untuk sesuci para tamu makam. Meskipun dia diupah sangat murah, tetapi sebagai seorang yang bersahaja ia melakukannya dengan senang hati. Jarak sumber air dengan makam bukanlah jarak dekat, ditambah lagi Ki Dadiyo harus turun-naik tangga lebih dari 300 anak tangga.

Sejenak Ki Dadiyo memandang matahari yang sudah mulai condong ke barat. Diambilnya kayu pikulan yang terbuat dari belahan bambu yang dirangkap sehingga menjadi kuat. Beberapa saat ia kebingungan mencari ember bekas cat yang sering digunakanya untuk mengambil air.
Ketika dilihatnya anak lelakinya Ki Dadiyo memanggilnya. “To, embere putih pake sing siji neng ndi yo?”.(To, ember putih bapak yang satunya mana ya?)
“Dinggo simbok ngekum gadung. Diselehke neng mburi”.
Ki Dadiyo lalu menuju bagian belakang rumahnya dan melihat embernya telah dipakai untuk merendam gadung (sejenis umbi beracun yang dapat dimakan tetapi harus melalui prose’s yang tepat). Setelah memindahkan gadung ketempat yang lain maka Ki Dadiyo memulai pekerjaannya.

Disaat Ki Dadiyo sedang menaiki anak tangga di komplek makam Sunan Pandanaran itu ia bertemu dengan perempuan tua yang selalu menggenggam rokok dan sapu lidi ditangannya.
“Surup-surup ngisi banyu kang, mbok sesuk meneh?”(sudah sore masih mengisi air kak, kenapa tidak besok saja?). Bertanya wanita tua itu.
“Lha aku lagi wiwit’e yu”, jawab Ki Dadiyo tanpa berhenti. Tetapi ia tetap bertekad melanjutkannya, sebagai seorang penduduk asli disitu ia sering mendengar cerita-cerita tentang penampakan hantu-hantu Bayat. Namun demikian dihatinya ia selalu berkeyakinan bahwa ia tidak berbuat sesuatupun yang salah sehingga ia menanggapinya dengan pasrah.

Ketika ia sudah lima kali berjalan turun naik Ki Dadiyo dapat menyelesaikan pekerjaannya, sebenarnya rumah Ki Dadiyo berada di lereng perbukitan Jabalkat, sehingga akan sangat dekat dicapai melalui jalan dibelakang makam Sunan Pandanaran Bayat yang memang berada dipuncak perbukitan. Tetapi ia tidak melakukannya karena jalan itu sangat terjal apalagi hari sudah malam. Ki Dadiyo memilih jalan yang dilaluinya ketika mengisi air.

Namun dalam pada itu ia merasakan bahwa ia sendirian menyusuri anak tangga itu. Ki Dadiyo berharap bahwa juru kunci makam akan turun atau naik melewati anak tangga dari yang terbuat dari batu.
“Biasane Mas Widodo opo tamu-tamu lewat kok ora ono sing lewat. Wah jan sepi nyenyet tenan ki”. (Biasanya Mas Widodo atau tamu-tamu makam ada yang lewat kok nggak ada yang lewat ya. Wah ini sih benar-benar sepi) Ki dadiyo berpaling kebelakang untuk mencari orang yang kebetulan akan lewat.

Namun tiba-tiba dihadapannya telah duduk seekor macan kumbang yang ukurannya melebihi ukuran sewajarnya. Dengan sorot mata kuningnya yang menyala dalam gelap, macan kumbang itu menatap Ki Dadiyo dengan tajamnya. Namun demikian sebagai seorang yang sering keluar masuk makam dan hutan dipegunungan Jabalkat, maka ia mencoba menghadapinya dengan tenang.

Sambil menggerak-gerakkan ekornya macan yang berkulit hitam pekat mengkilat itu tetap diam dan tidak bereaksi apapun. Hanya mulutnya yang kadang-kadang terbuka memperlihatkan taringnya yang besar. Ki Dadiyo juga diam mencoba dengan nalarnya. Jarak antara macan dan Ki Dadiyo hanya beberapa langkah.
Untuk beberapa saat lamanya antara Ki Dadiyo dan macan kumbang itu tidak melakukan kontak apapun.
“Nek macan iki saknyatane macan, ora mungkin gedene sak mene. Iki mestine macan klangenane Ki Ageng Pandanaran”. (Ini pasti bukan macan sewajarnya, ini pasti macan peliharaan Ki ageng Pandanaran).

Didalam hati Ki Dadiyo berkeyakinan bahwa ini macan bukan sewajarnya. Dengan perasaan yang takjub dan ngeri ia memutuskan untuk meninggalkannya dengan sopan.
Berkatalah Ki Dadiyo dengan gemetar”Ndherek langkung mbah, kulo putune ki Ageng Pandanaran”. (Mohon ijin mbah, saya cucu keturunan Ki Ageng Pandanaran) Dengan membungkuk Ki Dadiyo meninggalkan macan itu.

Macan kumbang itu masih menggerak-gerakkan ekornya dan hanya menatap Ki Dadiyo. Entah bagaimana tetapi didalam hati Ki Dadiyo merasakan bahwa macan kumbang itu bukanlah ancaman baginya.

Dengan mengucap sokur kepada Allah SWT Ki Dadiyo telah sampai di gapura pintu masuk makam. Ketika dilihatnya beberapa orang masih berkumpul di lincak depan warung Kang Lamtho, maka ia ikut nimbrung disitu dan menyalakan sebatang rokok. Namun demikian ketegangan masih membayang diwajahnya, beberapa kali ia mencoba menyalakan rokok tetapi selalu tidak berhasil.

Sekilas Kang Lamtho si pemilik warung memperhatikan muka Ki Dadiyo yang sedikit pucat dan tegang, maka bertanyalah kang Lamtho.
“Kowe kenopo tho kang, kok sajak’e pucet. Opo bar ketemu wedhon piye?” Teman-teman lain yang mendengarnya ikut tersenyum, tetapi malam itu Ki Dadiyo tetap menyimpan kejadian yang dialaminya didalam hati.